Esai, Trisula.news – Kadang, harapan tak datang dalam tepuk tangan, melainkan dalam sepi yang diam-diam menanti. Di pangkuan fajar Negeri Hemungsia Sia Dufu, tempat leluhur menanam doa dan harap, petarung itu pulang. Bukan sebagai tamu, tetapi sebagai jawaban dari doa yang lama digantungkan langit.
Sashabila Mus datang bukan membawa janji muluk, tapi luka yang telah dijahit menjadi tekad. Ia tumbuh dari badai kata, dihantam prasangka, bahkan keluarganya dijadikan arang dalam tungku caci. Tapi seperti emas yang ditempa, ia memilih membuktikan, bukan membalas.
Negeri ini terlalu lama digelayuti bayang-bayang kekecewaan. Dua periode berjalan, namun langkah tak maju—jalan-jalan rusak seperti urat harapan yang terputus, infrastruktur mangkrak, ekonomi rakyat tercekik, dan pendidikan terabaikan. Tanah yang subur justru menumbuhkan putus asa. Banyak yang merasa ditinggalkan, disisakan janji, tapi tak pernah ditepati.
Di balik diamnya, tersimpan sabar yang ditenun dari hari ke hari. Ia tahu, untuk mencintai negeri ini, harus bersiap kehilangan sebagian dirinya. Air matanya tak hanya tumpah di podium, tetapi juga mengalir membasahi sajadah, saat meminta kekuatan agar tetap melangkah meski banyak ingin menyingkirkan.
Hadirnya sosok Purnawirawan Polri, La Ode Yasir yang mendampingi, tak sebagai penopang, tapi belahan arah. Bersama, mereka menyatu dalam nama yang lahir dari denyut rakyat: SAYA TALIABU. Nama yang tak sekadar akronim, tapi ikrar dari dua hati yang bersumpah mencintai negeri ini bukan dengan kata, melainkan kerja.
Langit Taliabu mencatat sejarah dalam senyap. Pada 27 November 2024, suara rakyat mulai ditabuh lewat tekad pencalonan. Dan pada 5 April 2025, tinta di bilik suara menjelma ikrar: cukup sudah janji tanpa bukti. Rakyat memilih pulang pada yang tak hanya datang, tapi juga memahami luka yang tak pernah diucapkan.
Sashabila, putri semata wayang dari Ahmad Hidayat Mus (AHM), bukan sekadar mewarisi nama, tapi menghidupkan kembali semangat seorang ayah yang dulu membelah gelap demi lahirnya sebuah kabupaten. Dalam sejarah politik Maluku Utara, AHM dikenal sebagai petarung tangguh yang jejaknya tercetak kuat di tiga pulau yang dijuluki Negeri Senapan—Sula, Mangoli, dan Taliabu. Ia menyalakan obor perubahan dari ujung ke ujung, dan kini sang putri datang bukan untuk menumpang nama, tetapi untuk menyambung perjuangan yang pernah ditempa dengan keringat dan nyawa.
Petarung itu telah kembali untuk tanah leluhurnya. Dalam langkahnya yang tenang, bersemayam ribuan harapan yang perlahan bangkit. Kini, Negeri Hemungsia Sia Dufu tak lagi berjalan sendiri—ia dipeluk oleh cinta, dituntun cahaya, dan dipimpin oleh keberanian yang tumbuh dari luka dan doa.
Penulis: Y. Tabaika/ Pimred