Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Tebing Tinggi

Pemanggilan Jurnalis oleh Polres Tebing Tinggi Dinilai Janggal, AKPERSI Soroti Dugaan Intervensi

826
×

Pemanggilan Jurnalis oleh Polres Tebing Tinggi Dinilai Janggal, AKPERSI Soroti Dugaan Intervensi

Sebarkan artikel ini

Tebing Tinggi, Trisula.news – Penanganan perkara dugaan penganiayaan oleh Polres Tebing Tinggi terhadap jurnalis Satam JM menuai sorotan. Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) menilai pemanggilan klarifikasi yang dilakukan aparat penuh kejanggalan dan terkesan dipaksakan.

Keberatan juga disampaikan Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Kombes Pol Fery Waitantukan, atas judul berita bertajuk “Pemanggilan Klarifikasi oleh Polres Tebing Tinggi Dinilai Tidak Profesional dan Terindikasi Dipaksakan.” Menurutnya, judul tersebut mencederai institusi kepolisian.

Example 300x600

“Saya juga polisi. Pemberitaan seperti ini menyudutkan institusi kami. Kami belum mengetahui secara lengkap soal AKPERSI,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Menanggapi hal itu, Ketua Umum AKPERSI, Rino Triyono, SH, menyatakan bahwa pernyataan Kabid Humas terkesan sebagai bentuk intervensi terhadap kebebasan pers.

“Kalau belum tahu AKPERSI, silakan cari di Google,” tegasnya.

Dugaan pelanggaran prosedur semakin menguat ketika ditemukan perbedaan lokasi kejadian dalam laporan polisi. Surat pengaduan tertanggal 21 Maret 2025 menyebut lokasi di Dusun II, Desa Paya Lombang. Namun, surat panggilan klarifikasi kedua tertanggal 17 April 2025 menyebut Desa Kuta Baru sebagai lokasi kejadian.

Kuasa hukum Satam JM, Hendra Prasetyo Hutajulu, SH, MH, menyatakan kliennya tidak berada di lokasi saat kejadian dan tengah menjalankan tugas jurnalistik di luar kota. Ia menilai tuduhan tersebut mengada-ada dan mengarah pada pemaksaan hukum.

“Ini pelanggaran prinsip hukum. Kami akan melaporkan hal ini ke Propam dan Polda Sumut karena mencemarkan nama baik klien kami,” tegasnya. Ia juga menyayangkan tidak digunakannya prinsip Restorative Justice sesuai SE Kapolri No. 8/2021 dan Perja No. 15/2020.

Satam JM sendiri membantah tuduhan penganiayaan. Ia menyebut peristiwa itu sebagai fitnah, karena pada saat kejadian dirinya tidak berada di lokasi, sementara pelapor justru mendatangi rumahnya dengan maksud tidak baik.

“Polisi seharusnya mengecek fakta di lapangan sebelum mengeluarkan surat panggilan. Ini sangat tidak profesional,” ujarnya kepada media.

Sementara itu, pimpinan media GnewsTV yang juga anggota AKPERSI, Rudianto Purba, mempertanyakan ketimpangan penanganan laporan. Menurutnya, laporan kekerasan terhadap jurnalis Abdul Wahab Sinambela yang telah lebih dahulu masuk belum menunjukkan perkembangan signifikan.

“Kenapa laporan kami yang lebih dulu justru terbengkalai, sementara kasus Satam diproses kilat? Ada apa dengan penegakan hukum kita?” katanya.

Hingga berita ini disusun, Kapolres Tebing Tinggi AKBP Simon Paulus belum memberikan tanggapan meski telah dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp ke nomor pribadinya. Publik kini menantikan respons terbuka dari kepolisian.

Sejumlah kalangan, termasuk insan pers dan pegiat hukum di Sumatera Utara, mendesak agar penegakan hukum dilakukan secara adil dan tidak diskriminatif. Sekretaris DPD AKPERSI Sumut, KH Rony Syahputra, menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap jurnalis harus dihentikan.

“Ketika hukum kehilangan arah, suara pers dan masyarakat harus hadir sebagai penyeimbang. Jangan jadikan hukum alat kekuasaan,” pungkasnya. (Tim/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *