Esai oleh: Y. Tabaika – Pimpinan Redaksi Trisula.News
Pilkada Taliabu bukan sekadar panggung demokrasi, melainkan gelanggang epik tempat nasib dan harapan bersabung. Di sini, suara rakyat bukan sekadar angka, melainkan detak jantung yang menulis sejarah dengan tinta keyakinan, bukan kalkulasi belaka.
Tiga pasangan calon memang hadir, namun gemuruh sesungguhnya hanya berpusat pada dua kutub utama: Paslon 01 SAYA TALIABU (Sashabila Mus – La Ode Yasir) dan Paslon 02 CPM-UTU (Citra Puspasari Mus – La Utu Ahmadi). Sedangkan Paslon 03 hanyalah noktah yang tak mampu mencipta gaung di medan riuh ini.
Paslon 02 datang dengan gegap gempita. Aliong Mus membuka barisan. Fifian Ade Ningsi Mus menyeberangi lautan membawa pasukan OPD dan pendukung. Alien Mus di Senayan mengirim bayang kekuatan. Sebuah formasi megah, tiga mata tombak, dipertajam untuk menancap dalam satu titik: menjatuhkan poros SAYA TALIABU.
Namun sejarah kadang menolak logika. Ketika tiga mata tombak menari di udara, justru sebilah bayang, Sashabila Mus berdiri kokoh bagai batu karang di tengah badai. Di balik sosoknya, ada kekuatan tak terlihat namun terasa: Ahmad Hidayat Mus. Menantangnya ibarat melawan matahari dari arah terbitnya, menentang cahaya dengan bayang-bayang sendiri.
Sashabila bukan hanya nama, ia adalah gema lama yang menjelma dalam wajah baru. Melawan dia, artinya menantang akar yang telah menjalar ke palung kesadaran rakyat. Maka ketika formasi besar itu diluncurkan, dan bilah bayang itu tetap tak tumbang, rakyat pun tahu: ada kekuatan yang tak bisa dipatahkan oleh sekadar riuh dan rombongan.
PSU telah digelar, KPU mengesahkan, Bawaslu membenarkan. Namun suara sumbang muncul dari Ketua Tim Paslon 02, Rismanto Tari, menolak hasil rekapitulasi. Pernyataan itu terdengar bagai genderang perang yang dipukul setelah bendera putih dikibarkan. Sebuah drama yang tak tahu kapan harus berhenti.
Rakyat pun bertanya, getir dan sinis: jika seluruh daya sudah dikerahkan, jika bala bantuan dari seberang telah diturunkan, jika birokrasi sendiri turun ke gelanggang, namun masih tak menang, maka kekuatan macam apa yang dilawan? Jawabannya hanya satu: kehendak rakyat.
Sashabila berdiri di atas pijakan yang tak bisa dibeli: legitimasi nurani rakyat. Ia tidak menggenggam obor, tapi cahayanya menyinari. Ia tidak memekikkan janji, tapi rakyat berjalan di belakangnya. Dan ketika rakyat telah memilih jalannya, siapa pun yang mencoba membendung akan digulung ombak besar yang tak pernah surut.
Pilkada bukan tentang siapa yang datang dengan arak-arakan paling panjang. Ini tentang siapa yang dihantar oleh suara paling jujur. Dan jika suara rakyat adalah samudra, maka menantangnya tanpa kompas adalah karam yang pasti.