Sungai Penuh, Trisula.news – Penanganan dugaan korupsi Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Pelayang Raya, Kota Sungai Penuh, dinilai mandek. Ratusan massa dari Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Sungai Penuh.
Aksi digelar pada Selasa, 25 Juni 2025. Massa menuntut Kejari segera menindaklanjuti laporan yang telah disampaikan sebelumnya. Dugaan korupsi yang dilakukan Kepala Desa Pelayang Raya disebut telah merugikan keuangan negara hingga ratusan juta rupiah.
Unjuk rasa ini merupakan lanjutan dari aksi sebelumnya pada 15 Juni 2025. Saat itu, Kejari melalui Kasi Intel berjanji akan memproses laporan dalam waktu 10 hari. Namun hingga aksi kedua digelar, belum ada tindak lanjut.
Koordinator aksi, Indra Komano, menyampaikan kritik keras kepada Kejari Sungai Penuh. Ia menyebut lembaga tersebut tidak berani menegakkan hukum terhadap kepala desa yang diduga korup.
“Kami datang dengan harapan dan laporan yang jelas, tapi sudah 10 hari tidak ada satu pun tindakan. Ini bukan hanya kelalaian, tapi bentuk nyata lemahnya keberanian Kejaksaan dalam menghadapi korupsi di tingkat desa,” tegas Indra dari atas mobil komando.
Situasi sempat memanas saat massa mendekat ke pagar Kejari. Ketegangan terjadi akibat dugaan tindakan represif oleh aparat kejaksaan terhadap seorang peserta aksi. Aksi pemukulan itu memicu kemarahan massa. Aparat kepolisian yang berjaga segera melerai dan mengamankan situasi.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari Kejari Sungai Penuh terkait insiden tersebut.
Massa juga mendesak agar Kepala Desa Pelayang Raya dicopot dari jabatannya selama proses hukum berlangsung. Mereka menyatakan siap menggelar aksi lanjutan jika tuntutan tak direspons.
“Jika Kejari tetap bungkam, kami tidak akan berhenti. Kami siap menggelar aksi yang lebih besar, bahkan ke Kejaksaan Tinggi hingga Kejaksaan Agung,” ujar salah satu orator.
Aksi ini menjadi sorotan publik dan memunculkan pertanyaan serius tentang penegakan hukum di daerah. Masyarakat menilai lambannya penanganan kasus mencerminkan potensi pembiaran atau konflik kepentingan di internal Kejaksaan.
Massa menyatakan akan terus bertahan hingga pihak Kejari memberikan pernyataan tegas dan resmi terkait kasus yang mereka laporkan.